menganalisi tentang Rukun
Iman, 4 Mazhab, serta Kesetaraan kepemimpinan laki-laki dan perempuan dihadapan
Tuhan
Oleh Intan Komalasari
NIM : 1610112320007
A. Pengertian Rukun Iman
Rukun
iman (Bahasa Arab :أركان الإيمان) yaitu pilar keimanan dalam islam yang harus
dimiliki seorang muslim. Jumlahnya ada enam. Enam rukun iman ini didasarkan
dari ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits Jibril yang terdapat dalam kitab Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab. Iman secara
bahasa berarti tashdiq (membenarkan). Sedangkan secara istilah syar’i, iman
adalah "Keyakinan dalam hati, Perkataan di lisan, amalan dengan anggota
badan, bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan maksiat".
Para ulama salaf menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu iman
bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan
berkurang".
Dengan
demikian definisi iman memiliki 5 karakter: keyakinan hati, perkataan lisan,
dan amal perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang.
Imam
Syafi’i berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan perbuatan. Dia bisa bertambah
dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan sebab
kemaksiatan.” Imam Ahmad berkata, “Iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Ia
bertambah dengan melakukan amal, dan ia berkurang dengan sebab meninggalkan
amal. Imam Bukhari mengatakan, “Aku telah bertemu dengan lebih dari seribu
orang ulama dari berbagai penjuru negeri, aku tidak pernah melihat mereka
berselisih bahwasanya iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan
berkurang”.
1.
Rukun Iman
a)
Beriman Kepada Allah
Seseorang tidak
dikatakan beriman kepada Allah hingga dia mengimani 4 hal:
1)
Mengimani adanya Allah
2)
Mengimani rububiah Allah, bahwa tidak
ada yang mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta kecuali Allah.
3)
Mengimani uluhiah Allah, bahwa tidak ada
sembahan yang berhak disembah selain Allah dan mengingkari semua sembahan
selain Allah Ta’ala.
4)
Mengimani semua nama dan sifat Allah
(al-Asma'ul Husna) yang Allah telah tetapkan untuk diri-Nya dan yang nabi-Nya
tetapkan untuk Allah, serta menjauhi sikap
menghilangkan makna, memalingkan makna, mempertanyakan, dan
menyerupakanNya.
b)
Beriman Kepada Malaikat Allah
Mengimani adanya,
setiap amalan dan tugas yang diberikan Allah kepada mereka.
c)
Beriman Kepada Kitab-Kitab Allah
Mengimani bahwa seluruh
kitab Allah adalah ucapan-Nya dan bukanlah ciptaanNya. karena kalam (ucapan)
merupakan sifat Allah dan sifat Allah bukanlah makhluk. Muslim wajib mengimani
bahwa Al-Qur`an merupakan penghapus hukum dari semua kitab suci yang turun
sebelumnya.
d)
Beriman Kepada Para Rasull Allah
Mengimani bahwa ada di
antara laki-laki dari kalangan manusia yang Allah Ta’ala pilih sebagai
perantara antara diri-Nya dengan para makhluknya. Akan tetapi mereka semua
tetaplah merupakan manusia biasa yang sama sekali tidak mempunyai sifat-sifat
dan hak-hak ketuhanan, karenanya menyembah para nabi dan rasul adalah kebatilan
yang nyata. Wajib mengimani bahwa semua wahyu kepada nabi dan rasul itu adalah
benar dan bersumber dari Allah Ta’ala. Juga wajib mengakui setiap nabi dan
rasul yang kita ketahui namanya dan yang tidak kita ketahui namanya.
e)
Beriman Kepada Hari Akhir
Mengimani semua yang
terjadi di alam barzakh (di antara dunia dan akhirat) berupa fitnah kubur
(nikmat kubur atau siksa kubur). Mengimani tanda-tanda hari kiamat. Mengimani
hari kebangkitan di padang mahsyar hingga berakhir di Surga atau Neraka.
f)
Beriman kepada qada dan qadar, yaitu
takdir yang baik dan buruk
Mengimani kejadian yang
baik maupun yang buruk, semua itu berasal dari Allah Ta’ala. Karena seluruh
makhluk tanpa terkecuali, zat dan sifat mereka begitu pula perbuatan mereka
adalah ciptaan Allah.
2.
Hikmah Rukun Iman
a)
Hikmah Beriman Kepada Allah Swt
Orang – orang yang beriman kepada Allah swt
dengan kesungguhan hati dengan tak ada keraguan sedikitpun dalam hatinya, maka
Allah akan memberikan kemuliaan kepada mereka baik didunia maupun diakhirat.
b)
Hikmah Iman kepada Malaikat
Beriman
kepada malaikat akan membawa manfaat yang besar bagi kehidupan manusia antara
lain :
1.
Akan lebih bersyukur kepada Allah SWT,
atas perhatian dan perlindungannya terhadap hamba-hamba-Nya dengan menugaskan
para malaikat untuk menjaga dan mendoakannya.
2.
Akan lebih mengenal kebesaran dan
kekuasaan Allah SWT yang menciptakn dan menugaskan para malaikat.
3.
Sebagai seorang muslim haruslah selalu
optimis, tidak boleh ragu-ragu dan tidak putus asa dalam menghadapi masalah
hidup karena kita percaya bahwa ada malaikat yang akan memberikan pertolongan
dan bantuan.
4.
Berusaha untuk hati-hati dalam menjalani
hidup ini, karena ada malaikat yang diberi tugas untuk mengamati dan mencatat
semua tingkah laku manusia.
c) .
Hikmah Iman Kepada Kitab Allah
Ada hikmah yang bisa
direnungi mengapa Allah menurunkan Al Qur’an kepada umat manusia yang
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Menjadikan
manusia tidak kesulitan, atau agar kehidupan manusia menjadi aman, tenteram,
damai, sejahtera, selamat dunia dan akhirat serta mendapat ridha Allah dalam
menjalani kehidupan.
2. Untuk
mencegah dan mengatasi perselisihan diantara sesama manusia yang disebabkan
perselisihan pendapat dan merasa bangga terhadap apa yang dimilkinya
masing-masing, meskipun berbeda pendapat tetap diperbolehkan.
3. Sebagai
petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa.
4. Untuk
membenarkan kitab-kitab suci sebelumnya.
5. Untuk
menginformasikan kepada setiap umat bahwa nabi dan rasul terdahulu mempunyai
syariat (aturan) dan jalannya masing-masing dalam menyembah Allah.
6. Untuk
menginformasikan bahwa Allah tidak menyukai agama tauhid Nya (islam) dipecah
belah.
7. Untuk
menginformasikan bahwa Al Qur’an berisi perintah-perintah Allah,
larangan-larangan Allah, hukum-hukum Allah, kisah-kisah teladan dan juga
kumpulan informasi tentang takdir serta sunatullah untuk seluruh manusia dan
pelajaran bagi orang yang bertakwa.
8. Al
Qur’an adalah kumpulan dari petunjuk-petunjuk Allah bagi seluruh umat manusia
sejak nabi Adam a.s sampai nabi Muhammad SAW yang dijadikan pedoman hidup bagi
manusia yang takwa kepada Allah untuk mencapai islam selama ada langit dan
bumi.
d) .
Hikmah Iman Kepada Rasul-Rasul Allah.
Di antara tanda-tanda
orang yang beriman kepada rasul-rasul Allah adalah sebagai berikut:
1. Teguh
keimanannya kepada Allah swt.
2. Meyakini
kebenaran yang dibawa para rasul.
3. Tidak
membeda-bedakan antara rasul yang satu dengan yang lain.
4. Menjadikan
para rasul sebagai uswatun hasanah.
5. Meyakini
rasul-rasul Allah sebagai rahmat bagi alam semesta.
6. Meyakini
Nabi Muhammad saw. Sebagai Nabi dan Rasul terakhir.
7. Mencintai
Nabi Muhammad saw.
e) Hikmah
Beriman Kepada Hari Akhir.
Iman
kepada hari ahkir adalah termasuk rukun iman, dan merupakan akidah Islam yang
fundamental. Karena memepercayai hari kebangkitan di akherat merupakan pilar
akidah setelah mengesakan Allah Ta'ala. Keberadaan hari Kiamat adalah merupakan
sesuatu hal yang qoth'i (pasti) dan tidak perlu memperdebatkan dengan logika
sempit dan filsafat sesat. Sedangkan menging-karinya adalah merupakan
kekafiran.
Hari
akhir adalah hari kiamat yang hari itu seluruh manusia dibangkitkan untuk
dihisab (diperhitungkan amal-nya) dan diberi balasan. Dikatakan hari akhir
karena tidak ada hari setelahnya, dimana setiap penghuni surga akan menetap di
Surga dan ahli Neraka akan menetap di neraka.
f) Hikmah
Beriman Kepada Qada’ dan Qadar.
Pengertian
Qadha dan Qadar Menurut bahasa Qadha
memiliki beberapa pengertian yaitu: hukum, ketetapan,pemerintah, kehendak,
pemberitahuan, penciptaan. Menurut istilah Islam, yang dimaksud dengan qadha
adalah ketetapan Allah sejak zaman Azali sesuai dengan iradah-Nya tentang
segala sesuatu yang berkenan dengan makhluk. Sedangkan Qadar arti qadar menurut
bahasa adalah: kepastian, peraturan, ukuran. Adapun menurut Islam qadar
perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah terhadap semua makhluk dalam kadar
dan berbentuk tertentu sesuai dengan iradah-Nya.
Dengan
beriman kepada qadha dan qadar, banyak hikmah yang amat berharga bagi kita
dalam menjalani kehidupan dunia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat.
Hikmah tersebut antara lain:
1. Melatih
diri untuk banyak bersyukur dan bersabar.
Orang yang beriman
kepada qadha dan qadar, apabila mendapat keberuntungan, maka ia akan bersyukur,
karena keberuntungan itu merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri.
Sebaliknya apabila terkena musibah maka ia akan sabar, karena hal tersebut
merupakan ujian.
Firman Allah:
Artinya:”dan apa saja
nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah( datangnya), dan bila ditimpa oleh
kemudratan, maka hanya kepada-Nya lah kamu meminta pertolongan. ”( QS. An-Nahl
ayat 53).
2. Menjauhkan
diri dari sifat sombong dan putus asa.
Orang
yang tidak beriman kepada qadha dan qadar, apabila memperoleh keberhasilan, ia
menganggap keberhasilan itu adalah semata-mata karena hasil usahanya sendiri.
3. Memupuk
sifat optimis dan giat bekerja.
Manusia
tidak mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang tentu
menginginkan bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak datang begitu
saja, tetapi harus diusahakan.
4. Menenangkan
jiwa.
Orang
yang beriman kepada qadha dan qadar senangtiasa mengalami ketenangan jiwa dalam
hidupnya, sebab ia selalu merasa senang dengan apa yang ditentukan Allah
kepadanya.
Tafsir -Qur'an surat al-Nisa ayat
136-139
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا (136) إِنَّ
الَّذِينَ آَمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ آَمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلَا لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلًا (137) بَشِّرِ
الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (137) الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا (139)
Artinya:
(36) Wahai orang-orang yang
beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang
Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.
Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat
sejauh-jauhnya. (37) Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir,
kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah
kekafirannya[1], maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada
mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus. (38)
Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang
pedih, (39) (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi
teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka
mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan
kepunyaan Allah.
Dari
surah an-Nisa ayat 136 diatas Rukun Iman disebutkan hanyalah lima perkara
yaitu:
1.
Percaya kepada Allah
2.
Percaya kepada Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul
3.
Percaya kepada Malaikat-Malaikat
4.
Percaya kepada Kitab-Kitab
5.
Percaya kepada Hari Akhirat
3. Hadist
Mengenai Rukun Iman
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضًا قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ, لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ, حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم, فأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ, وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ, وَ قَالَ : يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِسْلاَمِ, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : اَلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَإِ لَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ, وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ, وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ, وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً. قَالَ : صَدَقْتُ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْئَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ, قَالَ : أَنْ بِاللهِ, وَمَلاَئِكَتِهِ, وَكُتُبِهِ, وَرُسُلِهِ, وَالْيَوْمِ الآخِرِ, وَ تُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ. قَالَ : صَدَقْتَ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ, قَالَ : أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ السَّاعَةِ قَالَ : مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِهَا, قَالَ : أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا, وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِيْ الْبُنْيَانِ, ثم اَنْطَلَقَ, فَلَبِثْتُ مَلِيًّا, ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرُ, أَتَدْرِيْ مَنِ السَّائِل؟ قُلْتُ : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ : فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Umar bin Khaththab Radhiyallahu'anhu
berkata:
Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasululah Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang
sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas
perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera
duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan
meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata : “Hai,
Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.”
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Islam adalah, engkau
bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah,
dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan
zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah,
jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka
kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.
Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”.
Nabi menjawab,”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya;
kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang
baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.”
Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada
Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya,
sesungguhnya Dia melihatmu.”
Lelaki itu berkata lagi : “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?”
Nabi menjawab,”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.”
Dia pun bertanya lagi :“Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!”
Nabi menjawab,
”Jika
seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang
bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing
telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah
yang
menjulang tinggi.”
Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya
kepadaku :“Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?”
Aku menjawab,”Allah dan RasulNya lebih mengetahui,” Beliau bersabda,”Dia adalah
Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.” [HR Muslim, no. 8]
B. Konsep Mazhab
1. Pengertian
Mazhab
Berdasarkan
bahasa atau dilihat dari kosa kata, mazhab merupakan bentuk isim makan dari
kata “dzahaba”, artinya jalan atau tempat yang dilalui, sedangkan menurut
istilah ulama ahli fiqih, mazhab adalah mengikuti sesuatu yang dipercayai.
Secara
etimologi مذهب berasal
dari shigoh masdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukan
tempat) yang diambil dari fi’il madhy ذهب yang artinya pergi, bisa juga
berarti الرأي artinya
pendapat.
Sedangkan
menurut istilah terdapat ada beberapa pendapat, antara lain:
1) Menurut Said
Ramadhany al-Buthy, mazhab adalah jalan pikiran (paham/pendapat) yang ditempuh
oleh seorang mujtahid dalam menetapkann suatu hukum Islam dari al-Qur’an dan
Hadits.
2) Menurut K.
H. E Abdurrahman, mazhab dalam istilah Islam berarti pendapat, paham aliran
seorang alim besar dalam Islam yang digelari Imam seperti mazhab Imam Abu
Hanifah, mazhab Imam Ahmad Ibn Hanbal, mazhab Imam Syafi’I, mazhab Imam Malik,
dan lain-lain.
3) Menurut A.
Hasan, mazhab yaitu sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang alim ulam
besar dalam urusan agama baik dalm masalah ibadah maupun masalah lainnya.
Dari beberapa pengertian diatas meliputi dua maksud, yaitu:
a. Mazhab
adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam Mujtahid dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Qur’an dan Hadits.
b. mazhab
aialah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa
yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits.
Jadi, Mazhab
ialah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam
memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam. Kemudian Imam Mazhab dan
Mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok uamat Islam yang mengikuti
cara istinbath hukum semakin kokoh dan meluas, sesudah masa itu muncul
mazhab-mazhab dalam bidang hukum Islam , baik dari golongan ahli hadits maupun
ahli ra’yi.
2. 4 (empat)
Mazhab yang lebih dikenal
Di
antara tonggak penegang ajaran Islam di muka bumi muncul beberapa mazhab
raksasa di tengah ratusan mazhab kecil lainnya. Ada 4 Imam yang mengajarkan nya.
Keempat mazhab itu adalah Al-Hanabilah, Al-Malikiyah,
Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah. Sebenarnya jumlah mazhab besar tidak hanya terbatas
hanya 4 saja, namun keempat mazhab itu memang diakui eksistensi dan jati
dirinya oleh umat selama 15 abad ini.
Keempatnya
masih utuh tegak berdiri dan dijalankan serta dikembangkan oleh mayoritas
muslimin di muka bumi. Masing-masing punya basis kekuatan syariah serta masih
mampu melahirkan para ulama besar di masa sekarang ini.
Berikut
sekelumit sejarah keempat mazhab ini dengan sedikit gambaran landasan manhaj
mereka.
1. Mazhab Al-Hanifiyah.
Didirikan
oleh An-Nu’man bin Tsabit atau lebih dikenal sebagai Imam Abu Hanifah. Beliau
berasal dari Kufah dari keturunan bangsa Persia. Beliau hidup dalam dua masa,
Daulah Umaiyah dan Abbasiyah. Beliau termasuk pengikut tabiin , sebagian ahli
sejarah menyebutkan, ia bahkan termasuk Tabi’in.
Mazhab
Al-Hanafiyah sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat dikenal sebagai
terdepan dalam masalah pemanfaatan akal/ logika dalam mengupas masalah fiqih.
Oleh para pengamat dianalisa bahwa di antaralatar belakangnya adalah:
Karena beliau sangat berhati-hati dalam menerima
sebuah hadits. Bila beliau tidak terlalu yakin atas keshahihah suatu hadits,
maka beliau lebih memlih untuk tidak menggunakannnya. Dan sebagai gantinya,
beliau menemukan begitu banyak formula seperti mengqiyaskan suatu masalah
dengan masalah lain yang punya dalil nash syar’i.
Kurang
tersedianya hadits yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat di mana beliau
tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah dan bermasalah yang
beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa beliau hidup di masa 100 tahun
pertama semenjak wafat nabi SAW, jauh sebelum era imam Al-Bukhari dan imam
Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti hadits.
Di
kemudian hari, metodologi yang beliau perkenalkan memang sangat berguna buat
umat Islam sedunia. Apalagi mengingat Islam mengalami perluasan yang sangat
jauh ke seluruh penjuru dunia. Memasuki wilayah yang jauh dari pusat sumber
syariah Islam. Metodologi mazhab ini menjadi sangat menentukan dalam dunia
fiqih di berbagai negeri.
Dalam kitab al-Mansukh karangan
Asy-Syarkasyi dikatakan “kepala wanita itu aurat” dan
disebutkan pula disana “wanita yang berikhram tidak boleh menutup wajahnya”
oleh karenanya wanita hanya memakai pakaian berjahit yang menutup kepala namun
tidak menutup wajahnya. Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa madzhab Hanafi
berpendapat bahwasannya aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan
kedua telapak tangan. Beberapa ulama menyatakan, perempuan diharuskan menutup
telapak kakinya ketika shalat, seperti yang sering dipraktekkan umat Islam Indonesia.
Tetapi, bagi ulama mazhab Hanafi, seperti dituturkan az-Zaila'i, hadis ini
dianggap lemah, termasuk oleh Ibn al-Jawzi dan Ibn Hatim (Nashb ar-Rayah, juz II, h.
300). Karenanya, ulama Hanafi memperkenankan telapak kaki perempuan untuk
terbuka, di dalam dan di luar sembahyang.
2. Mazhab
Al-Malikiyah
Mazhab
ini didirikan oleh Imam Malik bin Anas bin Abi Amir Al-Ashbahi (93 –
179H).Berkembang sejak awal di kota Madinah dalam urusan fiqh. Mazhab ini
ditegakkan di atas doktrin untuk merujuk dalam segala sesuatunya kepada hadits
Rasulullah SAW dan praktek penduduk Madinah. Imam Malik membangun madzhabnya
dengan 20 dasar; Al-Quran, As-Sunnah (dengan lima rincian dari masing-masing
Al-Quran dan As Sunnah; tekstualitas, pemahaman zhahir, lafaz umum, mafhum
mukhalafah, mafhum muwafakah, tanbih alal illah), Ijma’, Qiyas, amal ahlul
madinah (perbuatan penduduk Madinah), perkataan sahabat, istihsan,
saddudzarai’, muraatul khilaf, istishab, maslahah mursalah, syar'u man qablana
(syariat nabi terdahulu).
Mazhab
ini adalah kebalikan dari mazhan Al-Hanafiyah. Kalau Al-Hanafiyah banyak sekali
mengandalkan nalar dan logika, karena kurang tersedianya nash-nash yang valid
di Kufah, mazhab Maliki justru ‘kebanjiran’ sumber-sumber syariah. Sebab mazhab
ini tumbuh dan berkembang di kota Nabi SAW sendiri, di mana penduduknya adalah
anak keturunan para shahabat. Imam Malik sangat meyakini bahwa praktek ibadah
yang dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal Rasulullah SAW bisa dijadikan
dasar hukum, meski tanpa harus merujuk kepada hadits yang shahih para umumnya.
Disebutkan dalam kitab
al-Mudhawanatul Kubro imam Malik berkata “Jika wanita
melakukan shalat sedangkan rambutnya tampak atau dadanya tampak, atau punggung
kakinya tampak maka hendaklah ia mengulang selama masih dalam waktunya”.
3. Mazhab
As-Syafi'iyah
Didirikan
oleh Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (150 – 204 H). Beliau dilahirkan di Gaza
Palestina (Syam) tahun 150 H, tahun wafatnya Abu Hanifah dan wafat di Mesir
tahun 203 H.
Di
Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab qodim). Kemudian beliu
pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (madzhab jadid). Di
sana beliau wafat sebagai syuhadaul 'ilm di akhir bulan Rajab 204 H. Salah satu
karangannya adalah “Ar-Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al-Umm”
yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid
mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Beliau mampu memadukan fiqh ahli ra'yi
(Al-Hanafiyah) dan fiqh ahli hadits (Al-Malikiyah).
Dasar
madzhabnya: Al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau tidak mengambil perkataan
sahabat karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa salah. Beliau juga tidak
mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya,
menolak maslahah mursalah dan perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i
mengatakan, ”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan
syariat.” Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah
(pembela sunnah),”
Kitab
“Al-Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad
bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al-Karabisyi dari Imam Syafi’i. Sementara
kitab “Al-Umm” sebagai madzhab yang baru yang diriwayatkan oleh pengikutnya di
Mesir; Al-Muzani, Al-Buwaithi, Ar-Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika
sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah
madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”
Disebutkan
pula dalam kitab al-Muhadzadzab karangan
Asy_Syairozi “Adapun wanita merdeka maka seluruh tubuhnya adalah aurat
kecuali wajah dan kedua telapak tangan”, mengingat firman Allah yang menyatakan
untuk menampakkan wajah dalam jual beli, dan telapak tangan untuk mengambil dan
memberi, maka yang demikian itu tidak dijadikan aurat. Dan pada tempat lain
disebutkan, “Jika seorang hendak menikahi seorang wanita maka boleh lah ia
melihat wajah dan telapak tangannya, dan tidak boleh melihat selain keduanya,
karena kedua hal itu aurat.
4. Mazhab
Al-Hanabilah
Didirikan
oleh Imam Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani (164 – 241 H). Dilahirkan di Baghdad
dan tumbuh besar di sana hingga meninggal pada bulan Rabiul Awal. Beliau
memiliki pengalaman perjalanan mencari ilmu di pusat-pusat ilmu, seperti Kufah,
Bashrah, Mekah, Madinah, Yaman, Syam.
Beliau
berguru kepada Imam Syafi’i ketika datang ke Baghdad sehingga menjadi mujtahid
mutlak mustaqil. Gurunya sangat banyak hingga mencapai ratusan. Ia menguasai
sebuah hadis dan menghafalnya sehingga menjadi ahli hadis di zamannya dengan
berguru kepada Hasyim bin Basyir bin Abi Hazim Al-Bukhari (104 – 183 H).
Imam
Ahmad adalah seorang pakar hadis dan fiqh. Imam Syafi’i berkata ketika
melakukan perjalanan ke Mesir,”Saya keluar dari Baghdad dan tidaklah saya
tinggalkan di sana orang yang paling bertakwa dan paling faqih melebihi Ibnu
Hanbal (Imam Ahmad),”
Dasar
madzhab Ahmad adalah Al-Quran, Sunnah, fatwah sahahabat, Ijam’, Qiyas,
Istishab, Maslahah mursalah, saddudzarai’.
Imam
Ahmad tidak mengarang satu kitab pun tentang fiqhnya. Namun pengikutnya yang
membukukannya madzhabnya dari perkataan, perbuatan, jawaban atas pertanyaan dan
lain-lain. Namun beliau mengarang sebuah kitab hadis “Al-Musnad” yang memuat
40.000 lebih hadis. Beliau memiliki kukuatan hafalan yang kuat. Imam Ahmad
mengunakan hadis mursal dan hadis dlaif yang derajatnya meningkat kepada hasan
bukan hadis batil atau munkar.
Di
antara murid Imam Ahmad adalah Salh bin Ahmad bin Hanbal (w 266 H) anak
terbesar Imam Ahmad, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (213 – 290 H). Shalih bin
Ahmad lebih menguasai fiqh dan Abdullah bin Ahmad lebih menguasai hadis. Murid
yang adalah Al-Atsram dipanggil Abu Bakr dan nama aslinya; Ahmad bin Muhammad
(w 273 H), Abdul Malik bin Abdul Hamid bin Mihran (w 274 H), Abu Bakr
Al-Khallal (w 311 H), Abul Qasim (w 334 H) yang terakhir ini memiliki banyak
karangan tentang fiqh madzhab Ahmad. Salah satu kitab fiqh madzhab Hanbali
adalah “Al-Mughni” karangan Ibnu Qudamah.
Disebutkan dalam al-Mukhtasor karangan al-Khiraqi
mengatakan “Maka jika ada sesuatu selain wajah yang terbuka dari wanita maka ia harus
mengulang shalatnya”. Disebutkan pula dalam kitab al-Hidayah karangan
al-Khaludzani “aurat wanita merdeka adalah seluruh badannya kecuali wajahnya,
sedangkan mengenai kedua telapak tangan ada dua riwayat. Dalam kitab al-Ifshah
‟Anish-Shashihah karangan Ibnu Hubirah“ dan Ahmad berkata di salah satu dari
dua riwayatnya, “Semuanya adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangannya”.
Dalam riwayat lain disebutkan “Semuanya adalah aurat kecuali wajahnya saja”.
Dan itulah yang masyhur dan pendapat inilah yang dipilih oleh al-Khiraqi.
Sebagian ulama Hanabilah berpendapat bahwa seluruh anggota tubuh wanita (dari
ujung rambut sampai ujung kaki bahkan sampai dengan kuku-kukunya) adalah aurat.
C.
Kesetaraan
Kepemimpinan Laki-Laki dan Perempuan dihadapan Tuhan
1. Konsep
Kesetaraan Kepemimpinan Laki-Laki dan Perempuan dihadapan Tuhan
Dalam
pandangan hukum Islam, segala sesuatu diciptakan Allah dengan kodrat. Demikian
halnya manusia, antara laki-laki dan perempuan sebagai individu dan jenis
kelamin memiliki kodratnya masing-masing. Al-Qur'an mengakui adanya perbedaan
anatomi antara laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an juga mengakui bahwa anggota
masing-masing gender berfungsi dengan cara merefleksikan perbedaan yang telah
dirumuskan dengan baik serta dipertahankan oleh budaya, baik dari kalangan kaum
laki-laki maupun perempuan sendiri.
Kodrat
perempuan sering dijadikan alasan untuk mereduksi berbagai peran perempuan di
dalam keluarga maupun masyarakat, kaum laki-laki sering dianggap lebih dominan
dalam memainkan berbagai peran, sementara perempuan memperoleh peran yang
terbatas di sektor domestik. Kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat pun
memandang bahwa perempuan sebagai makhluk yang lemah, emosional, halus dan
pemalu sementara laki-laki makhluk yang kuat, rasional, kasar serta pemberani.
Anehnya perbedaan-perbedaan ini kemudian diyakini sebagai kodrat, sudah tetap
yang merupakan pemberian Tuhan.
Barang siapa
berusaha merubahnya dianggap menyalahi kodrat bahkan menentang ketetapan Tuhan.
Peran dan status perempuan dalam
perspektif Islam selalu dikaitkan dengan keberadaan laki-laki. Perempuan
digambarkan sebagai makhluk yang keberadaannya sangat bergantung kepada
laki-laki. Sebagai seorang anak, ia berada di bawah lindungan perwalian ayah
dan saudara laki-laki, sebagai istri bergantung kepada suami. Islam menetapkan
perempuan sebagai penenang suami, sebagai ibu yang mengasuh dan mendidik anak
dan menjaga harta benda serta membina etika keluarga di dalam pemerintahan
terkecil.
2. Kesetaraan
Gender Dalam Al-Qur’an
Al Qur’an
secara umum dan dalam banyak ayatnya telah membicarakan relasi gender,
hubungan antara laki- laki dan perempuan, hak- hak mereka dalam konsepsi yang
rapi, indah dan bersifat adil. Al Qur’an yang diturunkan sebagai petunjuk
manusia, tentunya pembicaraannya tidaklah terlalu jauh dengan keadaan dan
kondisi lingkungan dan masyrakat pada waktu itu. Seperti apa yang disebutkan di
dalam QS. Al- Nisa, yang memandang perempuan sebagai makhluk yang mulia
dan harus di hormati, yang pada satu waktu masyarakat Arab sangat tidak menghiraukan
nasib mereka.
Sebelum diturunkan surat Al- Nisa
ini, telah turun dua surat yang sama-sama membicarakan wanita, yaitu surat
Al-Mumtahanah dan surat Al-Ahzab. Namun pembahasannya belum final, hingga
diturunkan surat al-Nisa’ ini. Oleh karenanya, surat ini disebut dengan surat
Al-Nisa’ al-Kubro, sedang surat lain yang membicarakan perempuan juga , seperti
surat al-Tholak, disebut surat al-Nisa’ al Sughro. Surat Al Nisa’ ini benar-
benar memperhatikan kaum lemah, yang di wakili oleh anak- anak yatim, orang-orang
yang lemah akalnya, dan kaum perempuan.
Maka, pada
ayat pertama surat al-Nisa’ kita dapatkan, bahwa Allah telah menyamakan
kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai hamba dan makhluk Allah, yang masing-
masing jika beramal sholeh, pasti akan di beri pahala sesuai dengan amalnya.
Kedua-duanya tercipta dari jiwa yang satu (nafsun wahidah), yang
mengisyaratkan bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya. Semuanya di bawah
pengawasan Allah serta mempunyai kewajiban untuk bertaqwa kepada-Nya (ittaqu
robbakum).
Kesetaraan yang telah di akui oleh
Al Qur’an tersebut, bukan berarti harus sama antara laki- laki dan perempuan
dalam segala hal.Untuk menjaga kesimbangan alam (sunnatu tadafu’), harus
ada sesuatu yang berbeda, yang masing-masing mempunyai fungsi dan tugas
tersendiri. Tanpa itu, dunia, bahkan alam ini akan berhenti dan hancur.
Oleh karenanya, sebgai hikmah dari Allah untuk menciptakan dua pasang manusia
yang berbeda, bukan hanya pada bentuk dan postur tubuh serta jenis kelaminnya
saja, akan tetapi juga pada emosional dan komposisi kimia dalam tubuh.
Hal ini
akibat membawa efek kepada perbedaan dalam tugas ,kewajiban dan hak. Dan hal
ini sangatlah wajar dan sangat logis. Ini bukan sesuatu yang di dramatisir
sehingga merendahkan wanita, sebagaimana anggapan kalangan feminis dan ilmuan
Marxis. Tetapi merupakan bentuk sebuah keseimbangan hidup dan kehidupan,
sebagiamana anggota tubuh manusia yang berbeda- beda tapi menuju kepada
persatuan dan saling melengkapi. Oleh karenanya, suatu yang sangat kurang
bijak, kalau ada beberapa kelompok yang ingin memperjuangkan kesetaraan antara
dua jenis manusia ini dalam semua bidang. Al Qur’an telah meletakkan
batas yang jelas dan tegas di dalam masalah ini, salah satunya adalah ayat-
ayat yang terdapatdi dalam surat al Nisa. Terutama yang menyinggung konsep
pernikahan poligami, hak waris dan dalam menentukan tanggungjawab di dalam
masyarakat dan keluarga.
3. Pandangan
Ulama Kontemporer Tentang Kepemimpinan Wanita
Ulama
kontemporer ternama Yusuf Al-Qordhawi memiliki pandangan dan pendapat yang
berbeda terhadap kepemimpinan wanita dalam berpolitik. Beliau menjelaskankan
bahwa penafsiran terhadap surat an-nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin
bagi wanita dalam lingkup keluarga atau rumah tangga. Jika ditinjau tafsir
surat An-Nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita, bertindak sebagai
orang dewasa terhadapnya, yang menguasainya, dan pendidiknya tatkala dia
melakukan penyimpangan. “Karena Allah telah mengunggulkan sebagian mereka atas
sebagian yang lain. Yakni, karena kaum laki-laki itu lebih unggul dan lebih
baik daripada wanita. Oleh karena itu kenabian hanya diberikan kepada kaum
laki-laki.
Laki-laki
menjadi pemimpin wanita yang dimaksud ayat ini adalah kepemimpinan dirumah
tangga, karena laki-laki telah menginfakkan hartanya, berupa mahar, belanja dan
tugas yang dibebankan Allah kepadanya untuk mengurus mereka. Tafsir ibnu katsir
ini menjelaskan bahwa wanita tidak dilarang dalam kepemimpinan politik, yang
dilarang adalah kepemimpinan wanita dalam puncak tertinggi atau top leader
tunggal yang mengambil keputusan tanpa bermusyawarah, dan juga wanita dilarang
menjadi hakim. Hal inilah yang mendasari Qardhawi memperbolehkan wanita
berpolitik.
Qordhawi
juga menambahkan bahwa wanita boleh berpolitik dikarenakan pria dan wanita
dalam hal mu’amalah memiliki kedudukan yang sama hal ini dikarenakan keduanya
sebagai manusia mukallaf yang diberi tanggung jawab penuh untuk beribadah,
menegakkan agama, menjalankan kewajiban, dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Pria dan wanita memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih, sehingga
tidak ada dalil yang kuat atas larangan wanita untuk berpolitik. Namun yang
menjadi larangan bagi wanita adalah menjadi imam atau khilafah (pemimpin
negara).
Quraish
Shihab juga menambahkan bahwa dalam Al-Qur’an banyak menceritakan persamaan
kedudukan wanita dan pria, yang membedakannya adalah ketaqwaanya kepada Allah.
Tidak ada yang membedakan berdasarkan jenis kelamin, ras, warna kulit dan suku.
Kedudukan wanita dan pria adalah sama dan diminta untuk saling bekerjasama
untuk mengisi kekurangan satu dengan yang lainnya, sebagai mana di jelaskan
dalam surat At-Taubah ayat 71 yang berbunyi:
”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu
akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Taqiyuddin
al-Nabhani menjelaskan ada tujuh syarat seorang kepala negara atau (Khalifah)
dapat di bai’at yaitu muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan
mampu. Syarat muslim merupakan syarat mutlak untuk mengangkat pemimpin dalam
sebuah negara yang mayaritas penduduk islam, dan dilarangkan mengangkat
pimpinan dari kalangan kafir. Hal ini termaktub dalam surat An-Nisa ayat 144
yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk
menyiksamu)? “
Kedua
laki-laki, wanita dalam hal ini dilarang menjadi khalifah, imam, ulil amri,
atau kepala negara dalam hal ini kepala negara tidak dimaksud Presiden, yang
dimaksud disini adalah kepemimpinan yang dapat mengambil keputusan tanpa
dimusyawarahkan terlebih dahulu, sedangkan presiden dalam membuat keputusan
harus dilakukan dengan bermusyawarah terlebih dahulu terhadap
pembantu-pembantunya baik menteri, staff ahli, maupun dengan penasihat
pribadinya.
Ketiga
baligh, dengan syarat baligh maka pemimpin dibebani oleh hukum, sehingga apa
yang di pikulnya atau diamanahi kepada mereka maka akan dapat dipertanggung
jawabkan secara hukum, baik hukum dunia, maupun hukum dihadapan Allah.
Keempat
berakal, orang yang hilang akalnya dilarang menjadi pemimpin karena akan
mengambil keputusan yang tidak tepat, dan kehilangan akal akan membebaskan
seseorang dari hukum, sehingga tidak dapat dimintai pertanggung jawabannya.
Kelima adil, yaitu pemimpin yang
konsisten dalam menjalani agamanya hal ini termaktub dalam surah An-Nahl ayat
90 yang berbunyi:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran”
Keenam, merdeka terbebas dari perbudakan
sehingga dapat mengambil keputusan tanpa interfensi dari tuannya. Dan seorang
hamba sahaya dilarang diangkat menjadi pemimpin karena dia tidak memiliki
wewenang untuk mengatur orang lain dan bahkan terhadap dirinyapun tidak
memiliki wewenang.
Ketujuh, mampu melaksanakan amanat
khilafah, jika tidak mampu menjalankan amanat maka tunggulah hasilnya.
Sebagaimana di jelaskan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari ” Jika urusan diserahkan kepada yang bukan
ahlinya, maka tunggulah Kiamat” (HR Bukhari).
Qardhawi dalam hal ini kembali
mempertegas bahwa kepemimpinan kepala negara dimasa sekarang ini kekuasaannya
tidak sama dengan seorang ratu atau khalifah di sama lalu yang identik dengan
seorang imam dalam shalat. Sehingga kedudukan wanita dan pria dalam hal
perpolitikan adalah sejajar karena sama-sama memiliki hak memilih dan hak dipilih.
Dengan alasan bahwa wanita dewasa adalah manusia mukallaf (diberi tanggung
jawab) secara utuh, yang dituntut untuk beribadah kepada Allah, menegakan
agama, dan berdakwah.
Menurut
Abu Hanifah seorang perempuan dibolehkan menjadi hakim, tetapi tidak boleh
menjadi hakim dalam perkara pidana. Sementara Imam Ath-Thabari dan aliran
Dhahiriyah membolehkan seseorang perempuan menjadi hakim dalam semua perkara,
sebagaimana mereka membolehkan kaum perempuan untuk menduduki semua jabatan
selain puncak kepemimpinan negara.
SUMBER
Al-Qur’an dan Hadist
Qur'an surat al-Nisa ayat 136-139
Umar bin Khaththab
Radhiyallahu'anhu HR Muslim, no. 8
kitab al-Mansukh karangan
Asy-Syarkasyi
kitab al-Mudhawanatul Kubro imam
Malik
kitab al-Muhadzadzab karangan
Asy_Syairozi
al-Mukhtasor karangan al-Khiraqi
surat At-Taubah ayat 71
An-Nisa ayat 144
surah An-Nahl ayat 90
HR Bukhari
Hasbi Ash – Shiddieqy,
T.M. 1985. Pengantar Ilmu Fqih.
Jakarta : Bulan Bintang
Shobirin. 2013. Fiqh Ushul Fiqh. Jakarta : Dharma
Bhakti. cet 2
Zainuddin, Muhammad dan
Maisaroh, Ismail. 2005. Posisi Wanita
Dalam Sistem Politik
Islam,http://mimbar.lppm.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/396/254
diakses 03/01/2014.
Leila Ahmed, Wanita & Gender Dalam Islam,
Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2000.